SEMANGAT PERUBAHAN
 
Karya :Muhammad Hanif Zuhri

Kulihat trophy bertuliskan juara 1 dalam olimpiade matematika tingkat nasional yang berada di kamarku. Bagi orang yang hanya melihatnya sepintas mata, trophy itu hanyalah sebuah trophy biasa yang mungkin orang lain dapat membelinya di toko. Tapi pastilah pandangan setiap orang berbeda. Menurutku, benda itu mengingatkanku pada perjalananku yang penuh dengan perjuangan.

Bagiku trophy itu bukanlah sebagai tanda ataupun bukti atas penghargaanku yang telah berhasil mengerjakan soal-soal rumit dengan angka-angka yang dibagi, dikali, ditambah maupun dikurangi, angka yang dapat menggantikan posisi x dan y dan angka yang dapat berubah posisi dengan seenaknya sehingga aku harus menggunakan logikaku untuk membuat posisi itu berubah menjadi posisi yang semula.

Bagiku semua itu hanyalah sebuah teori, yang terpenting adalah sebuah proses dimana aku dapat menunjukkan ke semua orang bahwa aku bisa. Aku bisa walau aku tak punya cukup uang, walau aku tak punya keluarga yang benar-benar utuh untuk selalu mendukungku, walaupun aku juga tak banyak kenangan manis di hidupku. Kerja keraslah yang memoles hidupku yang tak berwarna menjadi merah merona.

Setiap hari sepulang sekolah, Aku membantu ibuku menjual gado-gado di depan rumahku. Warung kecil yang dibuat dari bambu dan kayu seadanya itu menjadi tempat untuk mengais rejeki. Hidup serba pas-pasan, tak menjadi penghalang bagiku untuk tetap menuntut ilmu.

Aku tinggal hanya dengan ibuku, setelah perceraian diantara mereka kini kehidupan ekonomiku berubah. Rumah bertingkat dan halaman yg luas kini berubah rumah nan sempit dan kotor. Dinding-dindingnya banyak retakan seperti akan roboh dan gentingnya banyak yang bocor. Dikala air hujan datang, Aku harus menadahi airnya dengan baskom atau semacamnya.

Aku hanyalah anak yang beruntung dapat bersekolah di SMA Negeri, atas jasa pamanku lah yang telah membiayai aku dalam menuntut ilmu untuk menggapai cita-citaku. Tapi apa daya, sampai saat ini aku belum bisa membanggakan ibu dan pamanku.

Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Sempat aku berfikir, aku telah gagal. Karena dulu aku pernah berjanji pada pamanku kalau aku akan berprestasi di sekolah. Ditengah aku merenung, aku menengok kearah jam yang ada di kamarku. Tak terasa jam telah menunjukkan pukul 10.00 malam. Langsung kupejamkan mataku agar esok tidak terlambat masuk sekolah.

Dengan sepatu butut ini, kulangkahkan kakiku menuju sekolah. Hampir sampai menuju kelasku, mataku terpana menuju mading yang terdapat poster yang berisi akan diadakan seleksi siswa untuk mengikuti olimpiade matematika tingkat nasional. Dalam hati, aku berniat dan akan bekerja keras agar bisa mengikuti ajang tersebut.

Rutinitasku pun kini mulai ku ubah. Cara belajarku yang semula hanya belajar pada saat mau ulangan, kini aku rutin membaca setiap malam setidaknya 30 menit untuk mempelajari pelajaran yang akan dibahas esok hari. Selain itu, kini aku juga mengikuti les matematika yang diadakan sekolah bagi siswa yang mau ikut olimpiade matematika.

Semangatku pun mulai membara tatkala aku mengetahui kalau aku dipercaya untuk mewakili sekolah dalam olimpiade matematika tingkat nasional yang kurang 3 hari lagi. Lembar-lembar soal aku kerjakan hingga larut malam hanya untuk satu pencapaian yakni menang dalam olimpiade tersebut.

Dengan perasaan antara senang dan juga tegang, hari yang dinanti pun tiba. Olimpiade dimulai, kulangkahkan kakiku yang bersembunyi di balik sepatu sederhana ini. Suara hiruk-pikuk tak lagi terdengar, yang ada hanyalah suara jarum jam berdetak dan pikiran-pikiran yang sibuk memenuhi kepala masing-masing peserta. Di dalam ruangan dingin karena ber-AC namun tak kurasakan dingin itu meyentuh kulitku. Panasnya mesin dalam otakku membuatku tak merasakan dinginnya udara AC di dalam ruangan. Tak kuhiraukan orang-orang di sekitarku, aku hanya berpusat pada satu titik fokus yang kini berada 30 cm di depanku. Dengan penuh harap aku keluar ruangan. Telah kuselesaikan tugasku, kini kutadahkan tanganku untuk berikhtiar kepada Allah SWT. Aku tak tahu apakah aku yakin atau meragu.

Dua minggu berlalu, tepatnya hari dimana pengumuman pemenang akan disampaikan. Dengan hati berdebar-debar, aku menunggu hasil yang akan disampaikan. Di hati kecilku, meskipun aku tidak berhasil aku telah berusaha semaksimal mungkin. Tetapi takdir berkata lain dengan hatiku, Aku berhasil mendapatkan juara 1 dalam olimpiade matematika tingkat nasional tersebut. Mataku membelalak, tubuhku kaku tak bergerak, telingaku seakan berdengung, dadaku serasa sesak saat juri memanggil namaku. Beberapa saat diam terpaku, aku mencoba untuk bangun dari mimpiku. Di atas panggung, puluhan orang menatap tajam seperti akan membunuhku dengan mata tombak yang tajam. Semua orang menaruh pandangan pada sosokku. Aku bahkan tidak percaya pada diriku sendiri bahwa itu semua adalah kenyataan. Aku yang semula menyerah untuk mengejar impian dalam belajar kini seperti ulat yang jelek berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Semua seperti keajaiban.

Dengan wajah sumringah, aku berjalan menuju rumah dengan membawa trophy atas kemenanganku yang akan kuperlihatkan kepada ibuku. Terlihat dari kejauhan, warung ibuku sedang rame pembeli. Sesampainya di rumah, ibuku bertanya tentang apa yang aku bawa. Kujelaskan bahwa ini adalah hasil kerja kerasku yang berbuah manis. Ibuku pun tersenyum bangga, begitu pula ekspresi para pembeli yang terheran kagum atas apa yang telah ku raih.

Setelah semua itu, aku dapat menyimpulkan bahwa setiap pencapaian tidak akan berhasil tanpa adanya tekad untuk berubah menjadi lebih baik. Tentunya harus dibarengi dengan kerja keras pantang menyerah meskipun itu sangat mustahil bagiku.

“Pencapaian tidak dapat diraih jika kita tidak memulainya”